" Hanyalah sebuah catatan kaki perjalanan menikmati coretan-coretan tuhan di alam indonesia ini.. mencoba memahami keagunganNya.. menikmati.. dan mengabadikan potongan kisah bersama para sahabat, rekan dan orang-orang yang terlibat didalamnya.. karena hal-hal seperti ini tak layak untuk dilupakan.. dan selalu indah untuk dikenang "

Lestari alamku..... Lestari Indonesiaku..... Lestari duniaku.....

Sabtu, 06 Februari 2010

merbabu..

25-26 september 2009..

Bila ku mengenang masa-masa itu, kenangan itu kembali dalam serangkaian foto-foto di”facebook”nya nasir yang baru kulihat beberapa hari lalu. Aku ingat 2 lelaki muda penuh semangat berjalan didepanku rada jauh, dengan lemari besar yang dipanggulnya masing-masing. Disebelahku, melangkah dengan terengah wanita terangkuh yang pernah kukenal. Dia mengenakan syal merah kebanggaannya dengan sepatu “eiger” yang sedikit mengkilap. Dibelakang kami menyusul pria tampan yang beberapa hari lalu baru turun dari ciremai, dengan kamera digenggamnya, ia tampak sibuk klik sana-klik sini. Memang “view” yang kita lalui sangatlah indah, nyaris kami dibutakan oleh dedaunan musim panas, padang edelweiss, sabana luas nan indah layaknya nuansa latar film “lord of the ring”. Maha besar Allah sang pencipta alam .





Aji, lelaki muda aseli cirebon itu berdiri, menjorokkan kaki kirinya setengah feet lebih muka ketimbang kaki kanannya yang tegap, tangan kanannya mengepal dipinggang, membuang jauh pandangan bak seorang “Cassanova” sedang memainkan bakatnya dihadapan para wanita . Lain Aji lain Nasir. Gayanya saat difoto lebih “cool”, Usaha yang lebih bagus untuk sedikit menyamarkan wajahnya. setali dua uang gustaf yang memang cukup ganteng terlihat sedikit dingin mengekspresikan bahasa tubuhnya sambil bersandar pada batang pohon..



Setiba dipuncak, Gustaf masih sibuk mengambil “angle’ terbaik, fotografer kacangan untuk hasil yang maksimal. Dan aku masih ditemani rokok dan kopi, lebih menyukai menikmati keberadaan kami dipuncak tertinggi merbabu ini.


Kebanggaan begitu besarnya terlihat dari sorot mata mereka saat masing-masing dari mereka mengambil gambar lagi ditemani bendera hijau “KMPA G”. Tak sedikit yang seperti mereka saat ini. Kebanggaan yang sama artinya saat salah satu sahabatku ditanya senior sewaktu pelantikan “G”. Banggakah kamu dengan predikat “G” yang melekat didirimu sekarang? Ia jawab, “ ini suatu kebanggaan kak, akhirnya saya dapat nomor “G” juga. Tak sedikit pula yang seperti itu. Dan tak sedikit pula yang menghilang setelah itu. Ironis.




Suatu kebanggaan diukur hanya untuk sebuah identitas. Tak berbeda jauh kondisinya dengan mereka-mereka yang memiliki predikat sebagai “wakil rakyat” yang melihatnya bukan lagi sebagai “wakil” yang pada hakekatnya adalah perpanjangan suara dari rakyat, setara atau bahkan seharusnya dibawah rakyat (melayani rakyat) bukan sebagai sebuah jabatan terhormat yang sulit disentuh dinegeri ini. Ataupun mereka yang memiliki banyak bintang dipundaknya, yang seharusnya melindungi kepentingan bukan menggunakan predikatnya untuk kepentingan. Mereka bangga tetapi lupa. Mereka berpredikat tapi tak memaknainya. Mereka adalah mereka, tapi tidak jiwanya.

Teringat cerita jujur nan ironi dari salah satu senior saya. Katanya “Pecinta alam itu bukan dilihat dari identitasnya, kebanggaannya, perilakunya. Tapi lebih jauh dilihat dari jiwanya”. Sepakat. Lanjutnya dia berkata : “saya sendiri menyesal sudah sekitar 7 tahun menjadi pecinta alam, namun tidak bisa berbuat apa-apa”. Mudah-mudahan para anggota KMPA kini dan mendatang bisa berbuat apa-apa. Amin.

>> Untuk sebuah anorak lusuh tak berjiwa di bukom tahun kemarin yang dibuat oleh hendricus sudirman. Membuatnya berarti sebelum mati dan terlupakan...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar